Baru-baru ini kita mendapat berita bahwa cuti melahirkan untuk para Bunda yang bekerja akan diperpanjang yang tadinya hanya 3 bulan akan menjadi 6 bulan. Tak lama setelah itu, kabar dari DPR kita akan memberikan cuti suami untuk istri melahirkan selama 40 hari. Sebetulnya, apakah hal ini penting?
Masyarakat kita umumnya masih sangat menganut budaya patriarkal: tugas mengurus, mengasuh anak adalah tugas istri. Padahal anak adalah tanggung jawab orangtua, artinya ayah atau suami juga harus ikut berperan dalam mengasuh anak.
Sebetulnya cuti untuk suami sudah terjadi di negara berkembang, mereka menamakan hal ini dengan paternity leave. Namun setiap negara memiliki aturan masing-masing dalam kebijakan cuti untuk suami ini. Misal di Korea, mereka memberikan 54 hari cuti untuk suami namun mereka hanya dibayar setengah gaji saat cuti ini berlangsung. Berbeda dengan lain seperti negara Skandinavia yang memberikan cuti suami selama 3 bulan dan dibayar dengan gaji penuh.
Namun hingga saat ini, kebijakan soal cuti suami untuk istri melahirkan di Indonesia ini masih belum begitu jelas. Apakah selama 40 hari, hak suami akan tetap dibayar penuh? Atau hanya setengah dari penghasilan? Atau mungkin cuti untuk suami ini bisa jadi hanya sebagai pilihan, suami boleh ambil atau tidak, yang pasti lamanya 40 hari.
“Setuju, sih. Biar bisa bantu si Ibu, apalagi anak pertama. Kasian takut stres sendiri,” kata Zulfikri, Ayah satu anak yang bekerja di Jakarta menanggapi soal cuti tersebut.
Jika cuti ini disahkan, yang harus perlu ditekankan adalah bagaimana hak yang didapatkan para suami dan kebijakan yang tegas dalam setiap perusahaan. Masashi Shinohara, CEO dari PT Asa Bestari Citta menyatakan, “Saya sangat berharap bahwa setiap perusahaan akan membayar 100% dari gaji mereka dalam cuti 40 hari ini sehingga setiap Ayah dapat berkomitmen untuk istri dan bayi mereka. Tetapi pada saat yang sama, perusahaan perlu melihat dengan sangat hati-hati bagaimana kami dapat mengelola 40 hari ini tanpanya.”
Bisa jadi, kebijakan ini akan diterapkan namun hak suami mungkin hanya diberikan separuh saja. Menanggapi hal tersebut, Zulfikri merasa tidak keberatan. Menurutnya cuti ini penting, karena peran Ayah setelah ibu melahirkan bisa mengantisipasi baby blues pada Ibu dan bonding pada anak.
Pentingnya Bonding Ayah pada Anak
Saya jadi ingat beberapa waktu lalu seorang Dokter Spesialis Anak, Miza Afrizal bertanya dalam sebuah unggahannya di Story Instagram, menurutnya cuti itu harusnya juga diberlakukan untuk suami karena penting untuk bonding (ikatan) antara Ayah dan anak. Selama ini Dokter Miza merasa yang memiliki masalah bonding dengan anak sebetulnya adalah Ayah. Cuti suami untuk istri melahirkan sebetulnya bisa digunakan untuk meminimalisir masalah ini.
Lalu, apa saja sih manfaat kalau ayah melakukan bonding dengan anak sejak dini terutama saat baru lahir (newborn)? Dilansir dari The National, sudah banyak penelitian memerlihatkan pentingnya bonding Ayah dan bayi sejak lahir karena memberikan manfaat seperti:
- Perkembangan fisik dan mental seorang anak meningkat secara pesat.
- Ayah mengalami lebih sedikit stres dan meningkatkan kepercayaan diri ketika mereka memiliki waktu khusus mereka sendiri dengan bayi mereka yang baru lahir.
- Ikatan ayah-anak yang kuat dapat membantu mengatasi masalah seperti depresi di kemudian hari.
- Laki-laki yang melaporkan bahwa mereka memiliki hubungan yang baik dengan Ayahnya selama mereka kecil lebih siap untuk menangani stres.
- Anak-anak yang mengalami interaksi dekat dengan ayah mereka sejak usia dini cenderung lebih berhasil secara akademis.
- Anak-anak yang dekat dengan ayah sejak dini memiliki hubungan yang lebih baik dengan teman sebayanya dan lebih kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam kejahatan atau penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol.
Begitu banyak manfaat untuk si Kecil ketika ayah bisa lebih banyak terlibat dalam mengurus bayi sejak lahir. Terlepas dari siapa yang membuat kebijakan, sebaiknya aturan ini bisa direalisasikan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk membuahkan generasi yang lebih baik lagi. Dan jangan lupa Bun, urusan anak adalah urusan orangtua yaitu Bunda dan Ayah!
Artikel ini ditulis oleh Cinta Marezi, Content Lead dari Diary Bunda App.