Bagaimana Mengajarkan Anak agar Cerdas Digital

anak cerdas digital

Hidup di era digital, manusia dan teknologi adalah dua hal yang sudah tidak terpisahkan. Tak terbayang mungkin sekarang menjalani keseharian tanpa update status, melihat berita, bertukar kabar, atau unggah foto di media sosial.

Mau berpergian atau mencari makanan, buka aplikasi ojek online. Berbagai jenis pekerjaan baru juga muncul karena perkembangan dunia digital, seperti vlogger atau jasa penambah follower.

Memisahkan diri anak dari dunia digital dapat menjadi hal yang kontraproduktif. Sebagai orang tua, yang perlu dilakukan adalah membekali anak agar siap hidup di era digital.

Jika dahulu kesuksesan anak diprediksi dari level kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosionalnya (EQ), anak jaman now perlu yang namanya kecerdasan digital (Digital Quotient – DQ).

Arti Cerdas Digital

anak cerdas digital

Cerdas digital bukan terbatas pada keterampilan mengoperasikan perangkat teknologi, tetapi bagaimana menyiapkan diri untuk menjadi bagian dari masyarakat digital yang bertanggung jawab dan menghadapi tantangan era digital dengan percaya diri.

Tingkat DQ berhubungan positif dengan perilaku penggunaan perangkat digital yang aman, pencapaian prestasi akademik yang lebih tinggi, serta kesadaran global dan empati yang lebih baik.

Apa saja yang harus disiapkan agar anak siap hidup di era digital dan bagaimana orang tua dapat membantu anak agar cerdas digital? Di bawah ini penjelasannya.

Screentime Management

anak cerdas digital

Online world berjalan 24/7. Oleh karena itu, penting untuk punya kontrol diri agar menyeimbangkan kehidupan offline-online.

Terlalu banyak screen time dapat menyebabkan masalah seperti keterlambatan tumbuh kembang, sulit konsentrasi, gangguan tidur, dan minim kontak langsung dengan orang lain.

Apa yang dapat orang tua lakukan?

  • Batasi waktu screen time. Berapa lama idealnya? Ini tergantung pada usia, bentuk screen time (main games, menonton video edukasi, browsing artikel untuk tugas sekolah), serta apakah anak punya kegiatan aktif dan waktu tidur yang cukup dalam sehari.
  • Ketika meminta anak untuk menyudahi screen time, beri waktu transisi pada anak untuk mematikan perangkat digital dan dorong agar melakukannya dengan sukarela dan melatih kontrol dirinya.

Berpikir Kritis

anak cerdas digital

“Ga tau benar atau ga..tapi share aja…” Sekarang ini seringkali dapat forward message yang kebenarannya dipertanyakan.

Oleh karena itu, penting bagi individu untuk memiliki kemampuan berpikir kriris, agar tidak langsung percaya semua info yang didapat dari internet dan berpikir lebih dulu sebelum meneruskan suatu berita.

Apa yang dapat orang tua lakukan?

  • Ajarkan anak untuk mengenali bagaimana membedakan berita hoax dan tidak, serta ingatkan selalu bahwa suatu kejadian yang sama dapat dilihat berbeda tergantung sudut pandang dan kepentingan pihak-pihak tertentu.
  • Ajak anak berpikir kritis dalam menyikapi kehidupan orang lain yang ia lihat di media sosial. Tidak jarang orang menjadi iri atau baper setelah melihat postingan orang lain, “Wah enak ya si A jalan-jalan melulu” atau “Hebat banget ibu B selalu sempet masak homemade padahal ga punya mbak” atau “Enaknya anaknya si C itu umur 3 tahun kayaknya ga pernah tantrum” dan lain sebagainya. Padahal, belum tentu juga postingan itu benar adanya. “We see only what they want us to see.”
  • Perhatikan rating usia dan usage policy, terkait tontonan film maupun kapan membolehkan anak membuat akun media sosial.

Jejak Digital

What we do online, stays online. Penting memahami ini agar tidak sembarang posting. Karena walaupun kita sudah menghapusnya, jika ada orang yang berniat untuk mencari tahu sebenarnya akan bisa dilakukan.

Orang bisa dapat info foto yang diunggah, komen/status yang ditulis, pesan teks yang dikirim, games/musik/aplikasi yang diunduh, web yang dikunjungi, dan lain-lain.

Sekarang ini, jejak digital juga bisa jadi faktor penentu lho, apakah seseorang akan diterima kerja atau diberi beasiswa.

Apa yang dapat orang tua lakukan?

  • Ajak anak diskusi info mana yang boleh dibagikan dan mana yang sebaiknya tidak. Contoh: Update status “rumah lagi kosong nih pada keluar kota” apakah aman?
  • Ajak anak diskusi tentang pentingnya jaga privasi, fitur privacy setting, dan ingatkan untuk tidak beritahu password pada orang lain.
  • Ajak anak mencari jejak digital dirinya dengan googling namanya dan lihat apa yang tampil.

Ajar Menjadi Diri Sendiri

anak cerdas digital

Dunia digital dapat membuat seseorang terjebak untuk mengejar likes dan shares, bahkan bila apa yang diunggah tidak sesuai dengan diri sebenarnya.

Bila kesenjangan profil/status di media sosial dan hidup sehari-hari terlalu besar, hal ini dapat menimbulkan isu psikologis.

Apa yang dapat orang tua lakukan?

  • Bantu anak mengenali diri sendiri (identitas, kelebihan, kekurangan, minat, pandangan terhadap isu tertentu).
  • Ingatkan anak bahwa sebaiknya online persona serupa dengan kepribadian sehari-hari.
  • Bila anak mengakui suka berpura-pura jadi orang lain karena merasa akan lebih disukai, diskusikan apa yang bisa dilakukan untuk menjadi versi lebih baik tersebut.

Etika dan Sopan Santun

Apabila ada berita baru, seringkali yang lebih seru adalah melihat kolom komentar daripada beritanya. Wah, suka speechless sendiri lihat bagaimana orang-orang bisa menjadi sangat brutal sekali dalam berkata-kata.

Kesopanan dan empati di dunia digital memang bisa menjadi lebih sulit karena tidak ada interaksi langsung (tidak mendengar suara/melihat ekspresi orang lain) dan anonimitas. Tak heran kini cyber bullying juga semakin banyak terjadi.

Apa yang dapat orang tua lakukan?

  • Selalu ingatkan anak untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Pikirkan kebutuhan dan perasaan orang lain, misalnya minta ijin sebelum membagikan foto atau video, menahan diri untuk tidak menulis komentar/status yang dapat menyakiti/mempermalukan orang lain.
  • Ajak anak menggunakan dunia digital untuk hal-hal positif seperti menggalang dana untuk membantu korban bencana atau anak yang sakit.
  • Diskusi tentang bentuk-bentuk cyberbullying (komen jahat, menyebarkan foto memalukan/rumor, ancaman) dan bagaimana cara agar tidak menjadi pelaku maupun korban.

Semoga kita bisa membantu anak-anak kita agar lebih siap hidup di era digital ini, ya. Dan mendidik mereka menjadi individu yang bisa memberikan dampak positif, bukan sebaliknya.

Ditulis oleh: Orissa Anggita Rinjani, M.Psi., Psikolog dari Rumah Dandelion

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *