Waspada Ciri-ciri Perilaku Toxic Positivity Ini, Bunda!

Kata positif seringkali diasosiasikan dengan hal-hal yang baik. Akan tetapi, tidak semua positif berarti bagus loh. Salah satu positif yang perlu dihindari adalah toxic positivity. Toxic positivity adalah suatu kondisi yang dialami seseorang untuk menuntut dirinya sendiri dan orang lain agar selalu memiliki pola pikir positif, terutama ketika melewati masa sulit. Orang dengan toxic positivity kerap memaksakan agar pikiran dan emosi selalu positif setiap saat, apalagi ketika hal-hal sulit atau buruk terjadi. 

Dilansir dari Positive Psychology, Satriopamungkas, Yudani, dan Wirawan mendefinisikan toxic positivity sebagai dorongan yang sangat kuat dan kecenderungan berlebihan untuk melihat sisi baik dari sesuatu kejadian yang tidak diinginkan, sehingga gagal memahami emosi yang menyertai pengalaman tersebut.

Kondisi ini dapat menimbulkan tekanan yang sangat besar, karena membuat orang menyangkal emosi-emosi negatif dan membuat makin sulit untuk menerima maupun belajar dari kesalahan. 

Sadar atau tidak, setiap orang pasti pernah melakukan atau merasakan toxic positivity. Contohnya saja Bunda kehilangan handphone, lalu Bunda menceritakan musibah tersebut ke teman dengan perasaan sedih. Setelah Bunda menceritakannya, teman mengatakan “Tak usah sedih, kan kamu punya handphone satu lagi, jadi setidaknya kamu masih bisa menggunakan handphone.”

Mungkin juga teman Bunda malah membandingkan dengan nasibnya dengan berkata, “Masih mending kamu kehilangan handphone, waktu itu aku malah pernah kemalingan mobil.” Dari cerita di atas, teman Bunda mungkin berniat menghibur, namun, kata-katanya kurang tepat dan justru malah membuat Bunda merasa jengkel atau tidak dihargai. 

BACA: Ciri-ciri Toxic Parents, Apakah Bunda Salah Satunya?

Ciri-ciri SeseorangToxic Positivity

Bunda sudah tahu salah satu contoh dari toxic positivity. Lalu, apakah Bunda salah seorang yang sering melakukannya? Yuk, simak ciri-cirinya di bawah ini!

  1. Suka menyepelekan masalah 

Orang dengan toxic positivity sering menyepelekan masalah dengan mendesak orang lain agar terus berpikir positif. Misalnya saja teman Bunda baru saja kehilangan salah satu anggota keluarga. Bunda melakukan penghiburan dengan mengatakan “Setiap manusia pasti pernah merasa kehilangan, tetapi bukan berarti kamu harus terus menerus bersedih. Life must go on, kamu juga harus bangkit dan tunjukkan padanya kalau kamu bisa bahagia.”

  1. Membohongi diri sendiri 

Sering kali saat mengalami masalah maupun berada di situasi yang tidak menyenangkan, seseorang dengan toxic positivity akan menyangkal perasaan sedih atau gagal dengan pikiran positif. Padahal, sebenarnya menghadapi rasa kecewa atau sedih itu dibutuhkan supaya Bunda bisa mengenali diri sendiri dan mampu mengenali masalah. Menyangkal hanya akan membuat emosi-emosi tersumbat, sehingga gagal mengidentifikasi masalah, apalagi menemukan solusi. 

  1. Emosi tidak stabil

Orang dengan toxic positivity biasanya memiliki emosi yang tidak stabil. Mereka sering menekan perasaan kecewa atau sedih sehingga perasaannya menjadi tidak tenang. Mereka juga cenderung melampiaskan emosi-emosi negatif mereka dengan cara-cara yang merusak diri sendiri maupun orang lain. 

  1. Suka membanding-bandingkan

Orang yang sering menuntut dirinya untuk positif kerap merendahkan orang lain agar ia merasa lebih baik. Mereka adalah orang-orang yang suka mengadu nasib dan memposisikan seolah-olah masalah orang lain lebih sepele, seperti menyatakan, “ah masalah kamu belum seberapa jika dibandingkan dengan masalah aku. Masa kamu begitu saja sudah loyo! Jangan menyerah, masalah kamu belum seberapa jika dibandingkan orang-orang di bawah kamu.” Perilaku ini akan membuat orang lain merasa tidak dihargai dan bisa merusak hubungan sosial. 

  1. Lari dari masalah 

Orang-orang dengan sifat ini cenderung lari dari masalah dan berusaha menghindarinya. Mereka lebih fokus memaksakan diri untuk tetap merasa senang dengan cara menjauhi masalah. Menghindar memang mudah dan menyenangkan, namun hanya membuat masalah makin bertumpuk dan malah akan menimbulkan lebih banyak emosi negatif berikutnya. 

Dampak Negatif Toxic Positivity 

Berpikir positif merupakan hal yang baik, namun, jika memaksakan untuk terus berpikir positif, malah akan menimbulkan kerugian. Beberapa dampak negatif yang bisa muncul, antara lain:

  1. Bunda akan cenderung dijauhi oleh teman-teman. Hal ini bisa menyebabkan kesulitan dalam bersosialisasi.
  2. Merasa menjadi orang yang paling benar dan selalu memiliki pengalaman terbaik. Kondisi ini bisa menyebabkan Bunda kesulitan untuk menggali insight, menerima masukan dari orang lain, dan sulit instrospeksi diri. 
  3. Bisa menyebabkan stres, bahkan tekanan mental
  4. Tidak realistis dan suka merendahkan orang lain 

BACA: Serba Salah Dalam Hubungan? Waspadai Perilaku Ini Bun

Cara Menghindari Toxic Positivity

Annoyed father conveying displeasure to daughter while upset girl standing with back to dad with arms crossed and looking down sadly

Jika Bunda merasa sering melakukan toxic positivity, sebaiknya Bunda mulai menguranginya. Ada beberapa tips untuk menghindari perilaku ini. 

1. Akui apa yang Bunda rasakan

Jika ada sesuatu yang terasa tidak benar, biarkan diri Bunda mengakui dan merasakannya. Emosi negatif yang tidak terkendali dapat menyebabkan kerugian bagi diri sendiri maupun orang lain. Dengan menyatakan apa yang Bunda rasakan, merupakan langkah awal untuk menerima kondisi diri. 

2. Pikirkan kembali kata-kata yang diucapkan

Pikirkan dahulu kata-kata yang hendak dilontarkan pada orang lain.Jika orang lain sedang bercerita, Bunda bisa memberi semangat dengan cara yang tepat, namun hindari ucapan yang merendahkan, seperti “kamu masih bisa lebih baik daripada yang lain”, “Kamu harus move on. Aku saja bisa, masa kamu tidak”  atau malah sibuk mengadu nasib.

Saat ada teman yang sedang mengalami masalah, Bunda berbisa bertanya apa bantuan yang bisa diberikan oleh Bunda saat ini. Dengan begitu, Bunda dapat memberi bantuan atau dukungan sesuai dengan kebutuhan, bukan memaksakan solusi yang Bunda kira paling tepat.  

3. Afirmasi positif vs positif palsu

Afirmasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan motivasi, tapi afirmasi yang terlalu positif malah akan menimbulkan tekanan akibat tuntutan yang irasional pada diri sendiri. Bila selama ini Bunda menyatakan “Saya harus bisa sukses”, “Saya tidak boleh gagal”, cobalah mengubahnya menjadi ucapan yang lebih netral, seperti “Saya percaya pada kemampuan saya dan saya telah bekerja keras untuk proyek ini” atau “saya melakukan kesalahan tapi saya bisa memperbaikinya”.

Afirmasi yang netral bisa membantu Bunda untuk menerima kondisi yang tidak menyenangkan serta menyadari bahwa Bunda memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri maupun menemukan solusi dari masalah yang sedang dihadapi. 

BACA: 6 Gangguan Kesehatan Mental Selama Kehamilan

Sumber:

Khaleej Times. 2021. Escape the toxic positivity trap before it harms your mental health

Positive Psychology. 2021. Toxic Positivity in Psychology: How to Avoid the Positivity Trap

Medical News Today. 2021. What to know about toxic positivity

By Mardiana Hayati Solehah, M. Psi, Psikolog

Psikolog Klinis

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *